Beranda | Artikel
Kaidah Ke-67 : Mengejar Ibadah Yang Jika Terlewat Tidak Ada Badalnya
Kamis, 6 Oktober 2016

QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Ke Enam Puluh Tujuh

إِدْرَاكُ الْعِبَادَاتِ الَّتِي تَفُوْتُ بِغَيْرِ بَدَلٍ أَوْلَى مِنْ إِدْرَاكِ مَايَفُوْتُ إِلَى بَدَلٍ

Mengejar ibadah yang jika terlewat tidak ada badalnya lebih utama daripada mengejar  ibadah yang ada badalnya

MAKNA KAIDAH
Sebelum membahas lebih jauh tentang kaidah ini, perlu kita ketahui bahwa suatu ibadah apabila terlewat dan tidak dikerjakan, maka tidak lepas dari dua keadaan. Adakalanya ibadah itu yang terlewat itu ada pengganti (badal), dan adakalanya tidak ada penggantinya. Dan hukum asal suatu ibadah itu adalah tidak ada penggantinya kecuali jika ada dalil shahih yang menunjukkan bahwa ibadah tersebut memiliki pengganti. Sehingga apabila ada dua ibadah berbarengan seperti ini dan tidak bisa dilakukan dalam waktu yang bersamaan, maka kita harus memilih salah satunya untuk diamalkan. Diantara yang menjadi pertimbangan dalam memilih satu dari dua amalan yang berbarengan tersebut adalah dengan melihat manakah di antara keduanya yang memiiliki pengganti? Lalu kita pilih amalan yang tidak ada penggantinya untuk kita amalkan.

Kaidah ini menjelaskan pedoman dalam memilih antara dua amalan ibadah yang berbarengan dalam satu waktu dan tidak memungkin kita untuk mengamalkan keduanya. Jika dua amalan tersebut salah satunya memiliki pengganti dan yang lainnya tidak, maka kita pilih dan kita dahulukan amalan yang tidak ada penggantinya.[1] Karena amalan yang ada pengantinya apabila terluput maka sesungguhnya maslahat amalan tersebut tidak hilang begitu saja, namun maslahatnya  bisa tergantikan oleh badal (pengganti)nya. Adapun ibadah yang tidak ada penggantinya jika luput dan tidak dikerjakan maka maslahatnya hilang total karena tidak ada penggantinya.

DALIL YANG M ENDASARINYA
Di antara dalil yang mendasari kaidah ini adalah keumuman ayat-ayat dalam al-Qur’an yang menjelaskan anjuran mentarjihkan di antara maslahat-maslahat yang ada. Di antaranya adalah firman Allâh Azza wa Jalla :

الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ

Orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik. [Az-Zumar/39:18]

Dan firman Allâh Azza wa Jalla :

وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ

Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabbmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya [Az Zumar/39:55]

Ayat-ayat tersebut menunjukkan tentang anjuran mengejar dan mendapatkan kemaslahatan yang tertinggi dan kebaikan yang terbesar kemudian baru mencari kemaslahatan yang tinggi.[2]

CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Aplikasi dan penerapan kaidah ini bisa kita lihat dalam contoh-contoh kasus berikut :

  1. Apabila seseorang sedang membaca al-Qur’ân, kemudian terdengar adzan. Dalam kondisi terkumpul dua ibadah dalam waktu bersamaan, yaitu membaca al-Qur’ân dan menjawab adzan. Timbul permasalahan, apakah ia meneruskan bacaannya ataukah menjawab adzan tersebut? Jika diperhatikan, ibadah membaca al Qur’an jika terlewat maka masih ada penggantinya, yaitu bisa ia lakukan setelah adzan. Adapun menjawab adzan jika terluput maka tidak ada penggantinya. Dengan demikian dalam kasus ini, yang lebih utama baginya adalah menghentikan bacaan al-Qur’an untuk menjawab adzan, karena ibadah yang  terlewat tanpa adanya pengganti lebih utama untuk dipilih dan didahulukan.
  2. Telah maklum bahwa shalat sunnah lebih utama jika dikerjakan di rumah. Namun, apabila dikerjakan di rumah menyebabkannya terluput dari shaf pertama di masjid maka dalam hal ini hendaknya ia melaksanakan shalat sunnah tersebut di masjid. Karena shalat sunnah tersebut jika tidak ia kerjakan di rumah maka ada penggantinya yaitu bisa ia kerjakan di masjid, adapun shaf pertama jika ia terluput darinya maka tidak ada penggantinya.
  3. Seseorang yang tinggalnya jauh dari Mekah, ketika ia datang ke masjidil haram, timbul pertanyaan apakah yang terbaik baginya memperbanyak shalat sunnah ataukah memperbanyak thawaf. Jika kita perhatikan, apabila seseorang terluput dari melaksanakan shalat sunnah maka ada penggantinya, yaitu bisa dilakukan ketika ia kembali ke negerinya, dan tidak dipersyaratkan harus dilaksanakan di Masjidil Haram. Adapun thawaf maka tidak bisa dilakukan kecuali di Masjidil Haram, dan tidak ada thawaf kecuali di Ka’bah. Apabila seseorang terlewat darinya maka tidak ada penggantinya. Oleh karena itu, bagi orang yang berasal dari tempat yang jauh dari Mekah, memperbanyak thawaf di Ka’bah lebih utama baginya daripada memperbanyak shalat sunnah di sana, karena shalat jika terlewat maka ada penggantinya, adapun thawaf maka tidak ada penggantinya.
  4. Bagi orang yang tinggal di Mekah mengikuti shalat Tarawih lebih utama baginya daripada melaksanakan ibadah thawaf. Hal ini dikarenakan shalat Tarawih apabila terluput maka tidak ada penggantinya. Adapun ibadah thawaf apabila terluput maka bisa ia lakukan kapan saja di waktu lain karena ia tinggal di Mekah. Dan contoh kasus ini merupakan kesebalikan dari contoh sebelumnya.
  5. Apabila seseorang sedang berpuasa lalu ia menemui orang lain yang jiwanya terancam bahaya, baik tenggelam, terbakar atau semisalnya, dan ia tidak bisa menyelamatkan orang itu kecuali dengan membatalkan puasanya, maka timbul permasalahan apakah yang ia pilih meneruskan puasanya ataukah menyelamatkan orang tersebut. Jika kita perhatikan, maka ibadah puasa apabila terluput maka ada penggantinya yaitu bisa diqadha’ di waktu lainnya. Adapun nyawa seseorang jika hilang maka tidak ada penggantinya. Maka dalam kasus ini yang ia pilih adalah maslahat menjaga jiwa seorang Muslim karena tidak ada penggantinya, daripada maslahat berpuasa, karena maslahatnya bisa digantikan.
  6. Seseorang yang berada pada cuaca yang sangat dingin diperbolehkan baginya untuk bertayammum, apabila bersuci menggunakan air membahayakannya. Hal ini karena bersuci dengan air ada penggantinya yaitu bersuci dengan debu (tayammum), adapun jiwa seseorang tidaklah ada penggantinya. Sehingga lebih diutamakan perkara yang tidak ada penggantinya daripada perkara yang ada penggantinya.

Demikian pembahasan singkat kaidah ini. Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian.

Wallahu a’lam.[3]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XVIII/1436H/2015. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Lihat pembahasan kaidah ini dalam Majmû’ al-Fatâwa, 23/312-313.
[2] Lihat al-Qawâ’id wa adh-Dhawâbith al-Fiqhiyyah ‘inda Ibni Taimiyyah fi Kitâbai at-Thahârah wa as-Shalâh, Nashir bin ‘Abdillah al-Maiman, Cet. II, Tahun 1426 H/2005 M, Jami’ah Ummul Qura, Makkah al-Mukarramah, hlm. 279.
[3] Diangkat dari Talqîh al-Afhâm al-‘Aliyyah bi Syarh al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Kaidah Ke-40.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/5824-kaidah-ke-67-mengejar-ibadah-yang-jika-terlewat-tidak-ada-badalnya.html